Minggu, 03 Juni 2012

Diplomasi Budaya KALEDO dan KELOR Wisata Kuliner Kota Palu (Draf Naskah)


Jamrin Abubakar


Diplomasi Budaya
KALEDO
dan
KELOR


Wisata Kuliner Kota Palu
 





PENGATAR DARI PENULIS


SETIAP daerah memiliki kekayaan kuliner yang khas menjadi kebanggaan budaya masing-masing etnis yang tumbuh dan berkembang secara populer, tak terkecuali pada etnis Kaili di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Di antara sejumlah masakan khas, dikenal masakan Uta Dada, Uta Kelo dan paling popular masakan Kaledo selain Uve Mpoi.
Meskipun kaledo sudah lama dikenal masakan khas Kaili, tapi tulisan mengenai kaledo itu sendiri belum banyak ditulis dari aspek budaya. Bertolak dari keprihatinan itu, pada tahun 1999 lalu saya membuat catatan tentang cerita asal mula kaledo.
Ketika itu di tengah masyarakat memang sudah sering terdengar akronim kaledo = Kaki Lembu Donggala. Apakah secara kebetulan saja akronim itu atau tidak? Yang pasti sebutan kaledo telah popular dengan sebutan kaki lembu donggala, selain sebutan masakan khas itu sendiri. Bahan baku paling bagus untuk masakan ini adalah tulang-tulang kaki lembu atau sapi (meskipun dalam perkembangannya semua tulang sapi yang memiliki sisa daging yang menempel dapat dijadikan masakan kaledo). Makan Kaki Lembu Donggala di Palu. Demikian catatan awal saya yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan dalam; Mengenal Khazanah Budaya dan Masyarakat Lembah Palu, YKST, 1999.
Penulis ceritakan adanya seorang dermawan yang menyembelih seekor sapi miliknya untuk dibagi-bagikan ke penduduk. Secara kebetulan yang datang lebih awal adalah orang Jawa  dan mendapatkan daging yang dijadikan bakso. Orang Makassar menyusul kemudian, sehingga tinggal mendapatkan perut (jeroan) sapi yang akhirnya dijadikan masakan Coto Makassar. Belakangan orang Kaili lebih terlambat, hanya mendapatkan tulang dan kaki sapi. Namun ketika orang Kaili memasak tulang-tulang yang dinamainya kaledo tak kalah lezatnya.
Anekdot  itulah yang kemudian dikutip seorang wartawan Harian KOMPAS dalam tulisannya; Menikmati Kaledo Langsung di Pusatnya (2008). Kutipan serupa dilakukan Jafar G. Bua seorang jurnalis Trans TV di Palu dalam sebuah blognya dengan tulisan; Kaledo dan Singkong Rebus (2009). Kutipan demi kutipan kian menyebar di dunia maya, terutama dalam akun facebook.
Berkembangnya usaha kuliner di Kota Palu dalam satu dekade terakhiri, kaledo salah satu menu pavorit. Bahkan sebuah industri mie instan terkenal pernah memproduksi mie rasa Kaledo seperti halnya mie rasa Coto Makassar. Hal itu menunjukkan kaledo diakui sebagai brand yang secara ekonomi sangat menguntungkan bagi pemilik warung. Di satu sisi kaledo menjadi bagian diplomasi budaya yang telah mempengaruhi tata sajian makanan pada warga biasa sampai kalangan pejabat dalam perjamuan resmi.
Menyahuti rasa ingin tahu pembaca tentang kaledo, minimal buku ini bisa memberi pencerahan apresiasi tentang masakan tersebut. Penulis tampilkan pula sebuah fiksi legenda tentang Asal-Mula Kaledo yang berdasarkan imajinasi penulis.
Demikian pengantar penulis pada buku yang diberi judul; Diplomasi Budaya Kaledo dan Kelor. Saran dan masukan pembaca yang lebih baik akan bermanfaat untuk kemajuan penulisan beragam kekayaan kuliner daerah Sulawesi Tengah. Selamat membaca*

Palu, 2013

Jamrin Abubakar
Penulis



DAFTAR ISI

 Pengantar Dari Penulis
Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu
1.            To Kaili dan Eksotisme Kota Palu Yang Menginspirasi
2.            Kuliner To Kaili dalam Kebudayaan
3.            Uta Dada dan Uta Kelo: Yang Bersantan dan Yang
            Magis
4.            Lezatnya “Makan Tulang” di Kota Palu
5.            Diplomasi Budaya dengan Kaledo
6.            Asal Mula Kaledo (Sebuah Cerita Rakyat)
7.            Kemana Mencari Kaledo di Kota Palu?

1 komentar:

  1. Sore, apakah buku "Diplomasi Budaya Kaledo dan Kelor" masih dijual? Bolehkah saya meminta kontak Anda? Terima kasih. salam

    BalasHapus